AMATYA SEN
Amartya Kumar Sen (lahir 3 November 1933) Sen lahir di desa santiniskeran, bengal india pada tahun 1933, ayahnya seorang profesor kimia di universitas dhaka, yang sekarang berada di bangladesh. Pada masa kanak-kanak, sen mengalami masa-masa kelaparan hebat di bengal pada tahun 1943. dia mengatakan (klamer 1989, hal 139) bahwa kejadian itu sangat mempengaruhinya, dan menyebabkan munculnya minat pada pemabangunan ekonomi.
Amartya Sen adalah seorang ekonom India yang menjadi terkenal karena karyanya tentang kelaparan, teori perkembangan manusia, ekonomi kesejahteraan, mekanisme dasar dari kemiskinan, dan liberalisme politik. Sepanjang 25 tahun terakhir di abad ke-20, Amartya sen seagai figur utama dalam bidang ekonomi kesejahteraan dan pembangunan ekonomi. Dia memperluas gagasan para ahli ekonomi tentang kesejahteraan manusia sehingga mencakup tidak hanya konsumsi tambahan tetapi juga pengembangan potensi manusia. Sen juga mepelajari bagaimana keterbelakangan sangat mempengaruhi perempuan dan berpendapat bahwa ahli ekonomi yang mempelajari perkembangan ekonomi perlu memfokuskan diri pada pengembangan kesempatan bagi manusia.
Ketika menjadi sarjana muda di presidency college, calcutta, selai ekonomi, sen juga mempelajari etika dan filsafa politik. Dai menerima gelar BA bidang ekonomi tahun 1953, kemudian gelar BA.MA, dan Ph.D bidang ekonomidari trinity College, Cambridge, di Cambridge dia mempelajari ekonomi di bawah arahan Pierro Sraffa dan Joan Robinson. Robinson membimbing disertai doktoralnya ( sen,1960) dan mencoba memindahkan penelitian nya dari sampah etika ke teori yang abstrak(klamer 1989, hal 139).
Sesudah lulusdari Cambridge 1059, sen mengajar di Universitas jadaupur, universitas Cambridge dan kemudian universitas Dehli. Tahun 1971 Sen kembali k Inggris untuk bekerja di sekolah Ekonomi London. Kemudian pada tahun 1977 dia pindah ke Nuffield College oxford, tiga tahun kemudian menjadi Drummond Profesor bidang Ekonomi politik di AllSouls, posisi yang sebelumnya di jabat oleh Edgeworth dan Hicks. Tahun 1987 Sen pindah ke Amerika Serikat, menjadi profesor Ekonomi politik dan Filsafah
Ia menerima Penghargaan Nobel dalam bidang ekonomi atas karyanya dalam ekonomi kesejahteraan pada 1998 dan Bharat Ratna pada 1999. Pada 2003, ia dianugerahi Penghargaan Keberhasilan Seumur Hidup (Lifetime Achievement Award) oleh Kamar Dagang India. Saat ini ia menjadi salah satu dari 18 orang elite Profesor Universitas dari Universitas Harvard yang secara teknis bukan anggota dari dewan dosen manapun dan karena itu bertanggung jawab langsung kepada presiden Universitas
Sen dilahirkan di Santiniketan, Bengal Barat, kota Universitas yang didirikan oleh penyair Rabindranath Tagore, pemenang Penghargaan Nobel lainnya dari India. Tagore konon telah memberikan nama kepada Amartya Sen ("Amartya" berarti "kekal").
Sen pertama-tama belajar di India di sistem sekolah dari Universitas Visva-Bharati, Kolese Presidency, Kolkata dan di Sekolah Ekonomi Delhi kemudian melanjutkan ke Kolese Trinity, Cambridge, dan di sana ia mendapatkan gelar BA pada 1956 dan kemudian Ph.D. pada 1959. Ia pernah mengajar ekonomi di Universitas Calcutta, Universitas Jadavpur, Delhi, Oxford, Sekolah Ekonomi London, Harvard dan menjadi Master dari Kolese Trinity, Cambridge, antara 1997 dan 2004. Pada Januari 2004 Sen kembali ke Harvard, dan mengajar hingga sekarang.
Ø Karya-Karya Amartya Sen diantaranya adalah :
· Choice of Techniques : an Aspect of The Theory of Planned Ecinomic Development, Ox ford, Basil Blackwell, 1960.
· On Economic Inequality, Oxford, Clarendom Press, 1973.
· “The Economics of Line and Death,’’ Scientific American, 268, 5 (Mei 1993), hlm. 40-47.
· Hunger and Public Action, Oxford, Clarendon Press, 1989, degan Jean Dreze
· Resources Values and Development, Oxford, Basil Blackwell, 1984.
· The Political Economi of hunger Famine Prevention Oxford, Clarendon Press, 1991.
· Inequality Reexamined, Cambridge, Harvard University Press, 1992.
· On Ethics and Economic, Oxford, Basil Blackwell, 1987.
· “ The Impossibility of Parentian Liberal,“ Journal of Political Economy, 78, 1 (Januari-Ferbruari 1970), hlm 152-157.
· Dsb.
Ø Karya-Karya tentang Amartya Sen diantaranya adalah :
· Klamer, Arjo, “A Conversation with Amartya Sen,“ Journal of Economic Perspective, 3, 1 (Winter 1989), hlm. 135-150.
· McPherson, Michael, “ Amartya Sen“ dalam New Horizons in Economic Thought:
Appraisals of Leading Economists, ed.
Warren J. Samuels, Hants, England,
Edward Eglar, 1992, hlm. 294-309.
· Putterman, Louis, “ Amartya Sen“ (born 1933). “dalam Biographical Dictionary of Dessenting Economists, ed. Aretis dan Sawyer, Hants, England, Edward Eglar, 1992, hlm. 498-505.
Ø Pranala luar :
- Autobiography
- Amartya Sen's articles at the New York review of books
- Amartya Sen: Democracy as a Universal Value
- Reflections of an economist; Interview by David Barsamian of Alternative Radio
- Interview for Asia Society by Nermeen Shaikh
- Amartya Sen: Satyajit Ray and the art of Universalism: Our Culture, Their Culture
- Amartya Sen: India through its Calendars
- A Kerala experience
- Frontline issue on Amartya Sen
- Interview with Nabaneeta Dev Sen, former wife of Amartya Sen
- Profile in The Guardian
- Said Shirazi: Two Ideas of Freedom (A leftist critique of Milton Friedman and Amartya Sen)
Ø TEORI 1
Amartya Sen dengan Konsep pengembangan ekonomi
Adalah pentingnya pengembangan potensi manusia . bagi Sen ekonomi seharusnya lebih mengembangkan kemampuan yang melekat dalam diri manusia dan memperbanyak opsi yang terbuka untuk mereka ketimbang berusaha memproduksi lebih banyak barang atau bagaimana memahami cara untuk memaksimalkan kepuasan. Konsekuensinya dia sangat kritis terhadap Ekonomi kesejahteraan tradisional yang menganggap bahwa perdagangan bebas dapat memaksimalkan ksejahteraan individu yang rasional
Inti asumsi rasionalitas adalah keyakinan bahwa individu adalah orang yang memaksimalkan kepuasan secara rasional. Kebanyakan ahli ekonomi yakin bahwa individu bertindak menurut dara yang sangat rasional dan logis, mereka melihat orang-orang mencoba mengetahui konsekuensi dari tindakan yang berbeda-beda dan mmperkirakan kepuasan yang mereka terima dari hasil setiap tindakan. Mereka percaya bahwa orang-orang bertidak untuk mendapatkan kepuasan maksimal dan dengan membiarkan orang bertindak dengan cara seperti ini akan membawa pada situasi Pareto Optimal. Sen (1976-1977) mengkritik pandangan ini dengan sejumlah alasan
Sen menerapkan pendekatan kemampuannya pada bidang pengembangan ekonomi. Usaha ini di mulai dengan membedakan antara pertumbuhan ekonomi dengan perkembangan ekonomi. Pertumbuhan berarti memproduksi lebih banyak barang terlepas dari apa yang terjadi pada orang-orang yang memproduksi dan mngkonsumsi barang-barang ini, sedangkan perkembangan meliputi “ pengembangan kemampuan manusia”. Sen (1984, hal 497). Pertumbuhan ekonomi menaikan pendapatan per kapita, perkembangan ekonomi meningkatkan harapan hidup, bebas buta huruf., kesehatan, dan pendidikan masyarakat. Ini berarti membuat orang menjadi bagian dari komunitasnya dan memungkinkan mereka muncul di publik tanpa merasa malu karena mereka akan di anggap sebagai individu yang berguna.
Pertunbuhan dan perkembangan seiring berjalan bersama, tetapi seperti yang di ilustrasikan oleh pengalaman negara-negara seperti China, Sri lanka dan Costa Rica, kebijakan publik yang tepat dapat meningkatkan kemampuan dan peluang meskipun angka pertumbuhan ekonominya rendah. Ketika negara sedang berkembang harus memutuskan apakah harus memfokuskan pada tujuan yang nyata, yaitu pengembangan potensi manusia. Lagi pula kesuksesan perkembangan ekonomi harus seharusnya di nilai berdasarkan meningkatnya tingkat warga yang bebas buta huruf dan harapan hidup ketimbang berdasarkan pertumbuhan dalam produksi atau tingkat pendapatan.
Sen juga melihat masalah gender adalah bagian integral dari proses perkembangan. Dia mempertanyakan asumsi bahwa rendah tingkat perkembangan ekonomi mempengaruhi persamaan laki-laki dan perempuan dan kebijakan pengembangan seharusya terfokus pada pria dan wanita secara seimbang.
Ø TEORI 2
Amartya Sen dengan Konsep Pembangunannya
Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, dunia sangat memuji pertumbuhan ekonomi Asia Timur Bank Dunia bahkan menerbitkan buku khusus, The East Asian Miracle: Economic, Growth and Public Policy (1993), guna melukiskan sukses ekonomi yang terjadi di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura tersebut. "Mukjizat Asia Timur" itu kemudian memunculkan teori baru mengenai keunggulan " Nilai-nilai Asia", khususnya nilai-nilai Konfusianisme, yang menekankan disiplin, ketertiban, dan pentingnya pendidikan.
Penonjolan unsur budaya sebagai kunci keberhasilan kesejahteraan sebuah bangsa itu sempat membuat Samuel P Huntington untuk menulis The Clash of Civilization and the Remaking of the World Order (1996). Di sisi lain, studi mengenai Jepang, yang dinilai sebagai pelopor "mukjizat Asia Timur" itu menjadi sangat laku. Tulisan-tulisan Robert Bellah, Maruyama Massao sampai Nakane Chie, kembali disimak secara lebih mendetil
Namun, sudah lebih dari sepuluh tahun itu pula, sesungguhnya telah banyak keraguan mengenai keunggulan nilai-nilai Asia itu. Pada akhir dasawarsa 1980-an misalnya, sudah ada beberapa studi ilmiah yang mencoba menganalisa secara kritis kinerja "mukjizat Asia Timur". Salah satu studi yang populer adalah tulisan Karel van Wolferen, The Enigma of Japanese Power: People and Politics in a Stateless Nation (1989). wartawan Belanda, yang sudah sepuluh tahun tinggal di Jepang itu, mampu menunjukkan bahwa sukses perekonomian Jepang terwujud karena aada represi terhadap rakyat, meski itu dilakukan dengan sangat halus penuh aturan.
Sayang, pada masa itu, krisis terhadap Asia Timur, khususnya Jepang, masih terbatas pada bidang sosial dan politik belaka. Dari sisi ekonomi, Asia Timur masih tetap dinilai sebagai model ekonomi yang harus ditiru oleh negara-negara berkembang lainnya. "Mukjizat" itu bahkan telah melahirkan "macan-macan kecil baru" dalam bidang ekonomi, yaitu Thailand, Malaysia, Cina, dan Indonesia. Keunggulan "nilai-nilai Asia", yang juga disebut-sebagai "Hipotesa Lee" (diambil dari nama mantan PM Singapura, Lee Kuan Yew), seakan sudah menjadi sebuah tesis yang pasti. "Untuk membangun ekonomi diperlukan sebuah pemerintahan yang otoriter, "begitu kampanye Lee selalu. Sementara itu, berbagai kritik terhadap keunggulan budaya Asia sering dinilai lebih sebagai ungkapan sikap iri dari negara-negara Barat.
"Negara-negara Barat selalu menonjolkan pemberlakuan hak-hak asasi manusia secara universal. Hal ini bisa merugikan apabila keuniversalan tersebut dipakai untuk mengingkari atau menyelubungi realitas perbedaan budaya, "demikian misalnya kata Menteri Luar Negeri Singapura Abdullah Badawi pada konperensi dunia mengenai "Hak-hak Asasi Manusia" di Wina, Austria, tahun 1993Tidak semua ekonom Asia begitu saja meyakini keunggulan nilai-nilai budaya Asia sebagai dasar kemajuan ekonomi. Amartya Sen, ekonom asl India pemenang Hadiah Nobel Ekonomi tahun 1998, adalah satu dari sedikit ekonom Asia yang berani melontarkan kritik tajam terhadap "hipotesa Lee" tersebut.
Dalam artikelnya di majalah The New Republic (Juli 1997), ia misalnya mempertanyakan hubungan kausal antara corak pemerintahan otoriter dengan dampak positif kemajuan ekonomi. "Pertumbuhan ekonomi di Botswana adalah paling tinggi di dunia. Negara itu bukan negara otoriter. Ia bahkan menjadi oase demokrasi di benua Afrika, "tulisnya." Dari data statistik 100 negara terbukti bahwa dampak positip sebuah pemerintahan yang otoriter terhadap pertumbuhan ekonomi sangat kecil," tambahnya.
Dasar argumen Sen antara lain diambil dari penelitian Robert J Barro (Getting it Right: Markets and Choices in a Free Society, 1996). Di situ dikatakan, datangnya kebebasan di negara-negaraotoritas memang menghidupkan ekonomi. Namun begitu, sebuah tingkat demokrasi tercapai, pertumbuhan ekonomi di negara-negara otoriter itu mundur. Hal ini disebabkan karena masyarakat mulai minta tambahan pembelanjaan kesejahteraan sosial. Sementara negara otoriter itu sendiri biasanya tidak memiliki sebuah mekanisme yang demokratis untuk mengatur aspirasi masyarakat tersebut. Represi terhadap aspirasi itulah yang menghambat pertumbuhan ekonomi.
Amartya Sen kemudian menilai, kita tidak cukup hanya melihat hubungan-hubungan statistik belaka. Semua proses penyebab yang terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi harus diamati secara detil. Kesejahteraann sebuah bangsa tergantung dari satu faktor saja.
Adalah pentingnya pengembangan potensi manusia . bagi Sen ekonomi seharusnya lebih mengembangkan kemampuan yang melekat dalam diri manusia dan memperbanyak opsi yang terbuka untuk mereka ketimbang berusaha memproduksi lebih banyak barang atau bagaimana memahami cara untukmemaksimalkan kepuasan. Konsekuensinya dia sangat kritis terhadap Ekonomi kesejahteraan tradisional yang menganggap bahwa pedagangan bebas dapat memaksimalkan ksejahteraan individu yang rasional.
Inti asumsi rasionalitas adalah keyakinan bahwa individu adalah oarang yang memaksimalkan kepuasan secara rasional. Kebanyakan hli ekonomi yakin bahwa individu bertindak menurut dara yang sangat rasional dan logis, mereka melihat orang-orang mencoba mengetahui konsekuensi dari tindakan yang berbeda-beda dan mmperkirakan kepuasan yang mereka terima dari hasil setiap tindakan.merekaprcaya bahwa orang-orang brtidak untuk mendapatkan kpuasan maksmal an dengan membiarkan orang bertindak dengan cara seperti ini akan memabawa pada situasi Pareto Optimal. Sen (1976-1977) mengkitik pandangan ini dengan sejumlah alasan.
Ø TEORI 3
Sebuah Pemikiran dari Amartya Sen Tentang Kemiskinan dan Kelaparan
Karya Sen tentang kekurang gizi dan kelaparan membantu ahli ekonomi memahami penyebab penting dari permasalahan di dunia nyata. Karya Sen juga mengubah pendekatan pencegahan dan bantuan kelaparan dari agen-agen internasional. Dalam sebuah bukunya yang berjudul Poverty and Famines (Kemiskinan dan Kelaparan) yang diterbitkan pertama kali tahun 1981, Amartya Sen secara meyakinkan menjelaskan hubungan yang kausalitas antara bencana kelaparan terkait dengan kediktatoran dalam suatu negara yang tidak demokratis. Hubungan yang kausalitas tersebut sangat berhubungan pula dengan adanya kemiskinan. Kemiskinan selalunya identik dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia dan tingkat pendapatan penduduk. Human Development (Pembangunan Manusia) yang rendah akan berdampak terhadap kualitas daya pikir manusia (kemampuan otak) (IQ). Faktor kemiskinan akan menyebabkan berkurang atau rendahnya kualitas pembangunan manusia tersebut.
Dalam buku Poverty and Famines dijelaskan bahwa, bencana kelaparan
biasanya juga dikaitkan dengan bencana alam seperti banjir, kekeringan atau
bencana alam lainnya. Namun pendapat Amartya Sen, selain dari faktor alam
yang tidak bersahabat tersebut, bencana kelaparan berkait erat dengan
kediktatoran dalam sistem politik suatu negara. Kedua faktor tersebut
memiliki hubungan yang kausalitas antara ?kediktatoran dan kelaparan?.
Argumen tersebut telah dibuktikan di negara-negara Asia Selatan dan
negara-negara di Afrika Sub-Sahara sejak tahun 1940-an.
Amartya Sen yang dikenal pula sebagai seorang Filosof-Ekonom asal India,
telah memberi sejumlah kontribusi yang sangat penting bagi pengembangan
masalah fundamental ekonomi kesejahteraan. Kontribusinya mencakup skala
luas, mulai dari teori aksiomatik tentang pilihan sosial, definisi
indeks-indeks kesejahteraan dan kemiskinan, sampai studi empiris tentang
kemiskinan.
Teori yang mengatakan bahwa, ada kaitan antara kediktatoran dengan
kemiskinan dikembangkan oleh Sen semenjak pertengahan 1970-an. Amartya Sen
berpendapat bahwa kediktatoran tidak tergerak untuk mencegah kelaparan.
Bencana tersebut telah menewaskan jutaan orang, namun penguasa di
negara-negara yang menganut sistem satu partai, tidak tergerak untuk
menangani masalah kekurangan pangan. Di sisi lain, pemerintahan demokratis
yang diseleksi melalui kotak suara, benar-benar memperhatikan
langkah-langkah pengadaan pangan.
Sen dan Dreze (1996) menunjukan bahwa india tidak pernah mengalami kelaparan sejak 1943, tapi China mengalami kelaparan besar dengan 15-30 juta orang yang sekarat karena kelaparan dari tahun 1958-1961 meskipun China lebih baik dalam mengatasi kelaparan dibanding india. Kelaparan massal tidak banyak behubungan dengan tingginya output yang di hasilkan aripemeritah demokratis, namun lebih berkaitan dengan fakta bahwa pemerintah demokratis harus merespon tekanan politik dari orang-orang yang berhak memilih.
Sebelum Sen ahli ekonomi pengembangan menganggap kelaparan terjadi karena kurang produksi makanan. Sen menunjukan bahwa masalah distribusi terpisah dan lebih penting dari pada masalah persedian makanan kelaparan bisa berasal dari buruknya atau tidak adilnya mekanisme distibusi kelapran juga bisa berasal dari banyaknya permintaan makanan di satu sektor atau daerah dari satu negara dan kurangnya persediaan makan di daerah lainnya.
Karya-karya Sen telah mencoba memperluas cakrawala analisis ekonomi, dia mendesak para ahli ekonomi untuk mengambil sudut pandangan yang berbeda tentang agen ekonomi manusia. Dia menegaskan bahwa orang mempunyai nilai intrinsik dan bukan hanya seorang yang memaksimalkan kepuasan secara rasional. Dia juga menunjukan bahwa tujuan dari sistem perekonomian yang kinerjanya bagus tidak hanya untuk menghasilkan lebih banyak barang dan jasa, tapi juga peningkatan taraf hidup orang banyak.
Tema yang menyatu dalam karya Sen menitikberatkan pada penciptaan potensi atau kemampuan manusia, dan bagaimana kemampuan ini meningkatkan kesejahteraan di dalam masyarakat dan keluarga. Dai telah melihat perkembangan kemampuan manusia sebagai tujuan riil dari pertumbuhan ekonomi dan alasan utama untuk menjadi seorang ahli ekonomi.
Ø Kasus yang diteliti oleh Amartya Sen
di negara-negara Asia Selatan seperti India dan Pakistan serta negara-negara di Sub-Sahara, Afrika (Amartya Sen,
1981: 34). Menurut Amartya Sen lagi, ?Sepanjang sejarah dunia, belum pernah
ada kelaparan di negeri yang menyelenggarakan pemilihan umum yang demokratis
dan pers yang bebas? (Nono Anwar, Makarim, Tempo, 6 Januari 2002).
Dalam pandangan Prof. Dr. Tabrani Rab yang menyebutkan dalam sebuah buku
yang ditulis oleh Myrdal di Pradenia University Colombo dalam Drama Asia
(Asian Drama) terdapat korelasi antara politik dan ekonomi di negara-negara
Asia.
Makin tinggi kadar demokrasi suatu negara seperti India semakin
terjerambab negara tersebut dalam kemiskinan dan makin tinggi kadar
orientasi ekonomi suatu negara, makin mudah tercapai kesejahteraan negara.
Namun dalil Myrdal tersebut dipatahkan oleh Myanmar yang sarat dengan
otoriter tentara, yang membuat negara tersebut semakin bangkrut dan
penampilan yang berbeda ditampilkan oleh Cina (Prof. Dr. Tabrani Rab: 2003:
Kata Pengantar, Krisis Kebangsaan: Dari Konflik Politik Hingga Kemacetan
Ekonomi, Hasrul Sani Siregar, MA).
Oleh yang demikian, apa yang diuraikan oleh Amartya Sen, sesungguhnya sangat
relevan dengan kondisi suatu negara tertentu, namun tidak selalunya relevan
pula terhadap negara yang kasusnya berbeda pula. Kondisi suatu negara,
ketika Sen mengkaji hubungan kausalitas antara ?kediktatoran? dan
?kelaparan? bisa diterima secara hubungan sebab akibat, namun kondisi yang
ditampilkan oleh Cina tentu perspektifnya berbeda pula.
Menurut Amartya Sen lagi, absennya demokrasi merupakan masalah yang
multi-dimensional. Keadaaan ini bukan hanya melanggar hak-hak asasi manusia
dan kemerdekaan politik, tapi juga pelanggaran nilai keamanan manusia paling
mendasar yaitu berupa keamanan untuk bertahan hidup. Ketika sebagian besar,
ekonom mendefinisikan kemiskinan hanya sebagai kehilangan pendapatan atau
pengecualian dari aktivitas perekonomian, Amartya Sen menangani proyek yang
mencakup pengecualian karena faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Dari
argumentasinyalah terbuka peluang lahirnya indeks tentang kehilangan manusia
(bencana kelaparan, hilangnya generasi dan kebodohan).
Dikaitkan pula dengan teori pembangunan yang salah satunya adalah
memberantas kemiskinan, maka teorinya Sen tidak hanya sekedar memberantas
kemiskinan, namun juga melihat aspek kemiskinan tersebut dari aspek yang
holistik (menyeluruh) seperti aspek ekonomi, sosial-budaya dan politik.
Dalam pandangan perspektif Marxis pula, kemiskinan dilihat bukan semata-mata
sebagai masalah yang sederhana, namun menurut perspektif Marxis, ia
merupakan ?kejahatan sosial? yang perlu diberantas Jadi menurut perspektif
Marxis, kemiskinan adalah ?kejahatan sosial?. Kemiskinan telah mengakibatkan
kerusakan dari aspek sosial-budaya seperti munculnya pengangguran, baik itu
pengangguran absolut maupun pengangguran terselubung.
DR. Mohamad Ikhsan dari Fakultas Ekonomi UI Jakarta, telah mencoba
memaparkan strategi baru dalam penanggulangan kemiskinan yang bertitik tolak
pada 5 pilar yaitu; pertama; reformasi kebijakan untuk menciptakan peluang
bagi penduduk miskin untuk berpartisipasi dalam pertumbuhan ekonomi. Kedua;
reformasi kebijakan untuk pemberdayaan penduduk miskin. Ketiga; perlindungan
sosial untuk melindungi penduduk miskin dari guncangan dan bencana alam.
Keempat; reformasi kebijakan untuk membangun partisipasi yang lebih luas
dari semua pihak yang terkait dalam pengurangan kemiskinan. Kelima; suatu
kebijakan yang memfokuskan hak sebagian besar penduduk yang rentan-anak-anak
dan kaum wanita dalam memutuskan transmisi kemiskinan antar generasi (Tempo,
Desember 2001).
No comments:
Post a Comment